Arsip | Diplomasi RSS feed for this section

Diplomasi Publik

5 Jan

Pengantar.

Untuk menjelaskan tentang diplomasi publik ini terlebih dahulu akan diilustrasikan sebuah contoh kasus :

“Pertemuan antara pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Helsinki Finlandia merupakan salah satu upaya pemerintah Indonesia untuk mengatasi masalah dengan GAM. Setelah terjadinya bencana gempa dan tsunami yang meluluhlantakkan sebagian besar wilayah Aceh dan menelan korban dalam jumlah yang luar biasa, sudah sewajarnya pemerintah Indonesia menaruh perhatian yang lebih besar kepada Aceh daripada masa-masa sebelumnya. Rakyat Aceh sudah terlalu lama dan terlalu banyak menderita akibat diberlakukannya berbagai operasi militer sejak masa Orde Baru sampai sekarang.

Akibat tertutupnya informasi pada masa Orde Baru, rakyat Indonesia yang berada di luar Aceh tidak terlalu menyadari seriusnya permasalahan Aceh. Baru setelah terjadinya demonstrasi besar-besaran yang dikoordinasikan SIRA (Sentra Informasi Referendum Aceh) pada 1 September 2002, masyarakat Indonesia dan internasional sadar bahwa tuntutan referendum terbilang serius bahkan mendapat dukungan yang luas dari rakyat Aceh.

Terlepas dari persoalan-persoalan sosial ekonomi masa lalu yang mengakibatkan munculnya tuntutan GAM, yang menjadi persoalan adalah bagaimana pemerintah Indonesia menghadapi persoalan-persoalan internasional yang muncul sebagai akibat masalah di Aceh?

Disinilah pentingnya sebuah diplomasi, bagaimana diplomasi harus dijalankan untuk memperoleh dukungan yang lebih besar dari masyarakat internasional? Satu hal yang penting adalah melalui diplomasi publik.

Diplomasi publik berangkat dari asumsi bahwa kekuatan bersenjata, politik, dan militer bukan merupakan satu-satunya cara penyelesaian masalah. Sejarah sudah banyak memberi contoh bahwa keberhasilan kelompok separatis memperoleh dukungan publik internasional lebih banyak terkait dengan pengelolaan informasi dari luar dan dalam, demi kepentingan negara. Jadi diplomasi publik adalah sebuah cara diplomasi dengan cara pemberdayaan, people to people contact, diseminasi informasi, merangkul dan mempengaruhi publik.

Pentingnya diplomasi publik

Revolusi teknologi yang menandai lahirnya abad ke-21 secara mendasar telah mengubah tatanan dunia. Dalam bidang diplomasi, teknologi telah membuat peran diplomat menjadi kurang signifikan dibandingkan masa sebelumnya. Teknologi transportasi dan informasi menyebabkan waktu dan tempat kehilangan relevansinya sehingga diplomasi tradisional sudah harus ditinggalkan.

Aktivitas diplomasi publik dipicu kenyataan bahwa upaya-upaya pemerintah dalam diplomasi jalur pertama konflik antarnegara. Kegagalan diplomasi jalur pertama telah mengembangkan pemikiran untuk meningkatkan diplomasi publik sebagai cara alternatif untuk penyelesaikan konflik. Kegiatan diplomasi publik sangat berbeda dengan propaganda. Jika kegiatan propaganda biasa memutarbalikkan fakta, bahkan melakukan kebohongan untuk mendapatkan efek yang diharapkan, dalam kegiatan diplomasi publik kuncinya justru kejujuran dengan tujuan mendapatkan dukungan yang tulus (to win the hearts and minds).

Diplomasi publik mensyaratkan kerja sama yang erat dengan media massa internasional. Diplomasi tradisional dan instrumen-instrumen militer tidak lagi mencukupi untuk menyelesaikan masalah-masalah politik dan keamanan. Berhasilnya suatu kebijakan juga menuntut dukungan rakyat dan pemimpin dari negara lain. Para diplomat harus berhasil memobilisasi dukungan yang luas bagi kebijakan mereka, termasuk mempertimbangkan tekanan publik di negara lain.

Karena teknologi informasi memungkinkan pernyataan-pernyataan para diplomat dipublikasikan secara instan, maka penjelasan kebijakan mereka harus konsisten dan persuasif bagi rakyat di dalam dan luar negeri.

“Menjual” citra negara juga merupakan bagian dari diplomasi publik. Namun, upaya ini harus diikuti upaya-upaya perbaikan terus-menerus di dalam negeri. penyampaian informasi secara cepat dan kredibel saja belum cukup. Apalagi di tengah proses reformasi kita yang menghadirkan semakin banyak aktor hubungan luar negeri, baik dalam jumlah maupun ragamnya. “Terdapat keperluan untuk menjalin kemitraan dan melibatkan berbagai komponen bangsa dalam diplomasi.

Menurut Hasan Wirajuda ada tiga kesalahan persepsi tentang diplomasi publik yang masih sering ditemui, bahkan di kalangan pejabat Departemen Luar Negeri. Pertama, diplomasi publik bukanlah propaganda. “Propaganda adalah komunikasi langsung kepada publik dengan tujuan memengaruhi pikiran melalui upaya mempersempit atau bahkan menutup perspektif khalayak yang menjadi target. Adapun diplomasi publik justru diarahkan untuk membuka dan memperluas wawasan publik melalui informasi dan edukasi. Kalaupun berniat melakukan propaganda, kita akan mengalami kesulitan karena apa yang terjadi di dalam negeri secara instan dapat diketahui di luar negeri.

Kedua, diplomasi publik bukan nation-branding meskipun sangat erat terkait dengan upaya promosi identitas nasional. Dasar bekerjanya memang sama, yaitu mencapai pertukaran informasi, mengurangi kesalahan persepsi, membangun itikad baik, dan membangun citra.

Namun, berbeda dengan pelaku kehumasan yang bisa membanjiri pasar dengan informasi tentang produk atau perusahaan, para diplomat tidak bisa memperlakukan publik dunia sebagai pasar.

Ketiga, diplomasi publik juga bukanlah kegiatan pertukaran misi kebudayaan. Diplomasi publik harus dikerjakan sendiri oleh para diplomat dengan menjangkau ke luar.